Saturday, March 23, 2019

Tentang Suku Dayak Maanyan

Berbicara untuk memahami Kebudayaan Dayak Maanyan kini bukanlah mudah. Perubahan begitu cepat yang telah dialami suku ini terutama sehabis lebih setengah masa berlalu. Nilai -nilai telah bergeser dan berubah, lantaran efek yang masuk ke tengah-tengah masyarakatnya. Pengaruh Pemerintah Belanda, Jepang, zaman pergolakan hingga tercapainya kemerdekaan bangsa kita, zaman Orde Baru dan sehabis keruntuhan orde gres hingga Pemerintahan ketika ini.
Sumbangan berupa pemikiran terutama bagi peminat serta bersedia mau membangun dan menyebarkan masyarakat Dayak Maanyan sangat diperlukan pada masa ini. Terutama mendampingi mereka dalam gejolak perubahan tajam meninggalkan kepercayaan usang dari benturan-benturan yang mungkin merugikan. Jalan yang memungkinkan dengan memperhatikan sejarah, budbahasa kebiasaan dan budaya suku ini.

Menurut legenda turun temurun, kelompok ini berasal dari Asia Selatan termasuk Proto Melayu. Dari ceritera yang dituturkan oleh Wadian Matei dalam upacara final hidup Marubia Kiyaen, kelompok suku ini pernah melewati Sri Bagawan dan kota Lingga. Di dalam Kiyaen itu, tidak pernah disebut-sebut nama-nama tempat di Sumatera dan Jawa. Kiyaen yaitu dongeng perjalanan suku ini. Besar kemungkinan melalui atau melewati Kalimantan serpihan Utara menggunakan Banung atau bahtera, kemudian menyusuri pantai timur Kalimantan, Selat Makassar. Banung mereka ada yang sesat ke Pilipina selatan, ada pula singgah di Tanjung Pamukan dan kemudian dikenal dengan Dayak Sumihin menempati Tanah Gerogot selatan.

Dikisahkan bahwa rombongan utama yang dipimpin oleh Datuk Sigumpulan dan isterinya Dara Sigumpulan tiba disuatu tempat yang berjulukan Gusung Kadumanyan atau Gusung Malangkasari tidak jauh dari Ujung Panti di tepi sungai Barito. Tidak diketahui dengan terang mengapa kelompok ini berpindah-pindah dari sana ke Bakumpai Lawas, Jengah Tarabang, Katuping Baluh, Bamban Sabuku, Kupang Sundung, Unsum Ruang, Eteen (Balangan) dan kemudian Nan Sarunai. Nan Sarunai menjadi tempat yang makmur dan maju. Tata pemerintahan sudah teratur. Diperkirakan letaknya di sekitar Banua Lawas, Pasar Arba di hilir Kelua sekarang. Pemerintahannya dipegang oleh semacam dewan, terdiri dari 40 orang yang memiliki keahlian masing-masing. Sebagai pimpinan pemerintahan pada masa itu yaitu Ambah Jarang dengan dibantu oleh 7 orang Uria dan 12 orang Patis.

Ketika Nan Sarunai mencapai puncak kemajuannya, tiba-tiba diserang oleh pasukan dari Jawa. Kejadian tersebut populer dengan ungkapan "Nan Sarunai hancur, usak Jawa". Sebagian kecil penduduknya melarikan diri dan membangun tempat gres diberi nama "Batang Helang Ranu". Karena tidak kondusif Batang Helang Ranu itupun ditinggalkan, kemudian menyebar ke kawasan Barito Timur dengan pembagian Paju IV, Paju X dan Banua Lima. Sekitar masa ke 16 datanglah Lebai Lamiyah meng-Islamkan, kecuali Paju IV, hingga ke Kampung Sarapat. Itulah sebabnya di kawasan Paju IV masih ada Hukum Kematian dengan aben tulang dan mayat. Karena ajaran-ajaran agama Islam sangat berbeda dengan budbahasa istiadat dan kebudayaan mereka, maka kembalilah mereka ke status kepercayaan orisinil mereka semula. Akibatnya disana sini ada perubahan termasuk tak ada "Mapui" atau Pembakaran Mayat.

Penghujung masa ke 18 Belanda sanggup dengan gampang berkuasa atas kelompok yang sangat mengasihi kedamaian dan ketentraman ini. Kemudian diikuti oleh penyebaran agama Katolik Protestan. Masih pada ujung masa itu sudah ada diantara penduduk yang dibaptis oleh Pendeta Tromp dari Zending Bremen. Agama Katolik merambat masuk melalui Kuala Kapuas. Misi itu diikuti dengan mendirikan gedung gereja di Tamianglayang tahun 1933 dan sekolah Rakyat di beberapa kampung. Semula menempati Kampung Beto, kemudian Murutuwu, akan tetapi kampung tersebut menolak misi itu.

Dengan dibukanya sekolah tadi maka kawasan ini mendapatkan perubahan yang sangat berarti. Melalui pendidikan kemudian, orang Maanyan mulai masuk dan menjadi Katolik yang dikenal dengan "Ulun Ungkup", sedang yang menjadi Islam lantaran perkawinan dan hal lain disebut "Ulun Hakei". Kata Maanyan masih simpang siur mengartikannya. "Ma" artinya ke dan "anyan" berarti tanah kering dan berpasir. Makara orang yang mendiami tanah kering dan berpasir, tetapi ada juga yang beropini dan mengartikan, ialah orang yang mendiami Gusung Kadumanyan. Kelompok ini sudah mengenal bertani ladang dengan memperhatikan bintang "Awahat". Mata pencaharian lain yakni berburu, menangkap ikan, menciptakan perahu dan lain-lain. Ketika ini tetap berladang, berkebun karet, rotan dan buah-buahan dan berternak babi. Jika dahulu hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, kini sudah merupakan embel-embel nilai ekonomis.

Sebelum perang dunia kedua sudah banyak keluar untuk mencari lahan gres dan lebih subur. Disamping hutan merupakan sumber perjuangan tambahan. Mengumpulkan hasil hutan dan perjuangan menciptakan perahu. Karena hutan semakin menipis, maka menerangkan kemunduran bagi hidup dan kehidupan mereka. Kemana lagi? kini lebih 40% menjadi buruh dan pegawai meninggalkan tempat asal mereka, menyebar kemana-mana. Ciri khas tabiat pada umumnya sangat menyukai seni dan bahasa satra asli, lemah lembut bertutur kata, suka merendah-rendah, dalam berbicara ceplas ceplos dan terus terang jikalau sudah mengenal teman bicara. Agak gampang percaya, jikalau tertipu jadi pendendam. Suku Dayak Maanyan sangat mempertahankan harga diri dan tidak suka mencari masalah.


EmoticonEmoticon