Thursday, March 14, 2019

Sanaman Mantikei

Dahulu kala di dusun Kaleka Nusa Kuluk Riam Habambang, sebelah kiri pulang kampung sungai Samba, hiduplah satu keluarga petani. Petani itu mempunyai seorang anak pria berjulukan Tinjau.

Pada suatu hari Tinjau pergi untuk mengantarkan masakan kepada ibu bapaknya di lading. Di tengah jalan, sekonyong-konyong Tinjau melihat seorang yang ibarat ayahnya. Orang itu kemudian mengajaknya berjalan ke suatu arah. Tinjau berdasarkan saja, lantaran dirasanya tak salah mengikuti ayahnya sendiri. Mereka berdua berjalan terus hingga tiba pada sebuah jalan yang lebar dan bersih.
Akhirnya hingga di sebuah betang (rumah panjang tradisional suku Dayak). Di dalamnya banyak orang berkumpul. Mereka kemudian naik ke dalam betang itu. Seorang tetua dari sekalian itu berkata kepada orang yang ibarat ayah Tinjau : “Dari mana kamu sanggup anak insan ini ? Bagaimana jika diketahuinya diam-diam pekerjaan kita ini tak boleh dilihat mahluk lain, apalagi manusia.”

Anak ini kutemukan di ujung jalan rumahku, sebelum mencapai jalan desa kita ini. Tiba-tiba saja ia terlihat olehku dan ia pun melihatku pula. Untunglah sempat kuubah wajahku, menyamar jadi ayahnya. Mungkin ia distributor diam-diam insan yang ditugaskan mengintai pekerjaan kita. Aku bergegas hingga kubawa saja ia kemari. Terserah ketua mengambil tindakan padanya,” jawab orang yang mengajak Tinjau tadi.

Ketua dari orang halus itu berkata lagi : Anak insan ini jangan dibiarkan bebas begitu saja. Nanti ia lari diceritakannya wacana segala perbuatan kita. Coba tutup ia dengan garantung (gong) besar.” Tinjau kemudian disekap di bawah sebuah garantung. Ia menyadari bahwa dirinya diculik mahluk halus. Untung saja papan lantai di bawah garantung itu tidak rata. Kalau tidak ia bias mati lemas kehabisan napas. Setelah Tinjau disekap, mulailah mereka itu berunding mengatur pembagian kerja pada esok hari yakni menciptakan peralatan untuk melebur watu menjadi sanama mantikei (besi sejati atau murni).

Orang tuanya heran mengapa Tinjau hari ini tidak tiba mengantar masakan ibarat biasanya. Merasa lapar keduanya terpaksa pulang ke rumah. Ternyata Tinjau tidak ada di sana. Seluruh keluarga dan orang sekampung turut mencari kesana kemari. Tetapi semuanya sia-sia saja. Tinjau hilang bagai ditelan bumi. Bermacam dugaan mereka lontarkan.

Apakah kamu lihat segala perbuatan kami ?” Tanya ketua mereka.

Memang Tinjau seorang anak yang cerdik, ia kemudian menyahut : “Ya. Saya lihat semua perbuatan kalian dengan jelas.

Ketua mahluk halus itu berkata : “Kalau begitu coba tutup ia dengan rakung (bakul besar terbuat dari kulit kayu).” Tinjau kemudian ditutup oleh mereka dengan rakung. “oh,” kata Tinjau, “jangan tutup saya dengan rakung alasannya sanggup kulihat apa perbuatan kalian.

“Kalau begitu coba dengan pangalau (sejenis bubu penangkap ikan dari rotan dianyam jarang), biar ia tak melihat pekerjaan kita,” kata ketua hantu itu.

Tinjau berteriak : “Ampun ! Janganlah kalian tuutp saya dengan pengalau ini. Aku menjadi buta dan tuli sama sekali.” Mahluk-mahluk halus itu tertawa terbahak-bahak gembira, alasannya Tinjau tak sanggup melihat segala perbuatan mereka. Alat yang mereka buat itu yakni alat sebagaimana yang masih dipergunakan pintar besi tradisional hingga kini di tempat Kalimantan Tengah.

Menurut pendapat mereka untuk mempercepat peleburan watu menjadi besi itu, sekeliling baknya dipancangkan tiga buah patung dari tanah liat dengan bentuk tertentu. Kepala berbentuk ikan, ekornya halus berbentu kerbau. Kalau kepalanya bunglon, ekornya harus berbentuk ikan serta bila kepalanya babi ekornya mesti berbentuk buaya.

Dari percakapan mereka terdapat beberapa persyaratan dalam pekerjaan itu antara lain dihentikan dilihat atau ditegur kaum wanita, beolok-olok atau berbicara kotor dan bertengkar. Selain itu hatus akrab dengan air dan ada dahan kayu yang sedang tingginya. Dua syarat terakhir erat kaitannya dengan teknis peralatan. Mengenai jenis batuannya yakni batuan yang ada didalam tanah. Tiga hari tiga malam lamanya Tinjau memperhatikan kerja mereka itu mulai dari menciptakan peralatanya, melebur batuan menjadi besi serta menempanya menjadi senjata dan peralatan. Saking sibuknya mereka bekerja, hingga lupa kepada Tinjau. Hingga dapatlah ia melepaskan dirinya pulang ke rumah.

Gembiralah keluarganya serta seisi kampung dengan kepulangan Tinjau. Mereka tercengang mendengar ceritanya, apalagi menyangkut pengolahan besi yang pada masa itu belum diketahui oleh orang.

Beberapa tahun kemudian Tinjau mengajak keluarganya mengerjakan sanaman mantikei ibarat dilihatnya di kampong mahluk halus dahulu. Mereka mengerjakannya lebih baik alasannya peralatannya cukup tepat dengan hasil yang memuaskan pula. Bekas pengolahan sanaman mantikei ini terlihat disebelah kanan pulang kampung sungai Mantikei, sungai Manten danKaleka Nusa Kuluk Riam Habambang. 

Sanaman Mantikei mempunyai sifat yang lebih lunak tapi tajam dan senjata yang dibentuk dari materi ini gampang dibengkokkan. Batuan yang mengandung sanaman mantikei hanya dijumpai di sungai Mantikei, mencarinya dengan jalan digali dari dalam tanah.

Karena terkenalnya besi ini, hingga kini tempat sepanjang sungai samba dinamakan kecamatan Sanaman Mantikei.


EmoticonEmoticon