Saturday, March 16, 2019

Cerita Danau Malawen, Kisah Rakyat Barito Selatan

Danau Malawen ialah sebuah danau yang terletak di Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah, Indonesia. Dimana danau ini mempunyai sebuah ceritanya sendiri.

Danau yang terletak di desa Sanggu ini menjadi salah satu objek wisata unggulan di kabupaten Barito Selatan. Di desa sanggu juga terdapat tempat tempat menarik ibarat Tanaman Anggrek, Tenpat Memancing dan Wisata Rawen.

Menurut dongeng yang beredar di kalangan masyarakat setempat, danau yang di tepiannya terdapat bermacam-macam jenis anggrek ini dahulu merupakan sebuah fatwa sungai yang di dalamnya hidup banyak sekali jenis ikan. Namun alasannya ialah terjadi insiden yang mengerikan, sungai itu berubah menjadi danau. 

Peristiwa apakah yang menimbulkan sungai itu berubah menjadi danau? Kisahnya sanggup Anda ikuti dalam dongeng Asal Mula Danau Malawen berikut ini.
Alkisah, di tepi sebuah hutan di tempat Kalimantan Tengah, Indonesia, hidup sepasang suami-istri miskin. Meskipun hidup serba pas-pasan, mereka senantiasa saling menyayangi dan mencintai. Sudah sepuluh tahun mereka berumah tangga, namun belum juga dikaruniai seorang anak. Sepasang suami-istri tersebut sangat merindukan kehadiran seorang buah hati belaian jiwa untuk melengkapi keluarga mereka. Untuk itu, hampir setiap malam mereka berdoa memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa biar harapan tersebut sanggup menjadi kenyataan.

Pada suatu malam, usai memanjatkan doa, sepasang suami istri pergi beristirahat. Malam itu, sang Istri bermimpi didatangi oleh seorang lelaki tua.
“Jika kalian menginginkan seorang keturunan, kalian harus rela pergi ke hutan untuk bertapa,” ujar lelaki bau tanah dalam mimpinya itu.

Baru saja sang Istri akan menanyakan sesuatu, lelaki bau tanah itu keburu hilang dari dalam mimpinya. Keesokan harinya, sang Istri pun menceritakan ihwal mimpinya tersebut kepada suaminya. 
“Bang! Benarkah yang dikatakan kakek itu?” tanya sang Istri.
“Entahlah, Dik! Tapi, barangkali ini merupakan petunjuk untuk kita mendapatkan keturunan,” jawab sang Suami.
‘Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bang! Apakah kita harus melaksanakan petunjuk kakek itu?” sang Istri kembali bertanya.
“Iya, Istriku! Kita harus mencoba segala macam usaha. Siapa tahu apa yang dikatakan kakek itu benar,” jawab suaminya.

Keesokan harinya, usai menyiapkan bekal seadanya, sepasang suami-istri itu pun pergi ke sebuah hutan yang letaknya cukup jauh. Setelah setengah hari berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat dan sunyi. Mereka pun membangun sebuah gubuk kecil untuk tempat bertapa.

Ketika hari mulai gelap, sepasang suami-istri itu pun memulai pertapaan mereka. Keduanya duduk bersila sambil memejamkan mata dan memusatkan konsentrasi kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Sudah berminggu-minggu mereka bertapa, namun belum juga memperoleh gejala maupun petunjuk. Meskipun harus menahan rasa lapar, haus dan kantuk, mereka tetap melanjutkan pertapaan hingga berbulan-bulan lamanya. Sampai pada hari kesembilan puluh sembilan pun mereka belum mendapatkan petunjuk. Rupanya, Tuhan Yang Mahakuasa sedang menguji kesabaran mereka.

Pada hari keseratus, kedua suami-istri itu benar-benar sudah tidak tahan lagi menahan rasa lapar, haus dan kantuk. Maka pada ketika itulah, seorang lelaki bau tanah menghampiri dan berdiri di belakang mereka. “Hentikanlah pertapaan kalian! Kalian telah lulus ujian. Tunggulah saatnya, kalian akan mendapatkan apa yang kalian inginkan!” ujar kakek itu.

Mendengar undangan itu, sepasang suami-istri itu pun segera menghentikan pertapaan mereka. Alangkah terkejutnya mereka ketika membuka mata dan menoleh ke belakang. Mereka sudah tidak melihat lagi kakek yang berseru itu. Akhirnya mereka pun tetapkan pulang ke rumah dengan berharap perjuangan mereka akan membuahkan hasil sesuai dengan yang diinginkan.

Sesampainya di rumah, suami-istri itu kembali melaksanakan pekerjaan sehari-hari mereka sambil menanti karunia dari Tuhan. Setelah melalui hari-hari penantian, balasannya mereka pun mendapatkan sebuah gejala akan kehadiran si buah hati dalam keluarga mereka. Suatu sore, sang Istri merasa seluruh badannya tidak enak.
“Bang! Kenapa pinggangku terasa pegal-pegal dan perutku mual-mual?” tanya sang Istri mengeluh.
“Wah, itu mengambarkan baik, Istriku! Itu ialah gejala Adik hamil,” jawab sang Suami dengan wajah berseri-seri.
“Benarkah itu, Bang?” tanya sang Istri yang tidak mengerti hal itu, alasannya ialah gres kali ini ia mengalami masa kehamilan.
“Benar, Istriku!” jawab sang Suami. Sejak ketika itu, sang Istri selalu ingin makan buah-buahan yang kecut dan makanan yang pedas-pedas.

Melihat keadaan istrinya itu, maka semakin yakinlah sang Suami bahwa istrinya benar-benar sedang hamil.
“Oh, Tuhan terima kasih!” ucap sang Suami. Usai mengucapkan syukur, sang Suami mendekati istrinya dan mengusap-usap perut sang Istri.
“Istriku! Tidak usang lagi kita akan mempunyai anak. Jagalah baik-baik bayi yang ada di dalam perutmu ini!” ujar sang Suami.

Waktu terus berjalan. Usia kandungan sang Istri genap sembilan bulan, pada suatu malam sang Istri pun melahirkan seorang anak pria yang kemudian diberi nama Kumbang Banaung. Alangkah senang dan bahagianya sepasang suami-istri itu, alasannya ialah anak yang selama ini mereka idam-idamkan telah mereka dapatkan. Mereka pun merawat dan membesarkan Kumbang Banaung dengan penuh kasih sayang.

Ketika Kumbang Banaung berusia remaja dan sudah mengenal baik dan buruk, mereka memberinya petuah atau nasehat biar ia menjadi anak yang berbakti kepada orangtua dan selalu berlaku santun serta bertutur sopan ke mana pun pergi. wahai anak dengarlah petuah, 

kini dirimu lah besar panjang 
umpama burung lah sanggup terbang
umpama kayu sudah berbatang
umpama ulat lah mengenal daun
umpama serai sudah berumpun
banyak amat belum kau dapat
banyak penganyar belum kau dengar
banyak petunjuk belum kau sauk
banyak kaji belum terisi
maka sebelum engkau melangkah
terimalah petuah dengan amanah
supaya tidak tersalah langkah
supaya tidak terlanjur lidah
pakai olehmu budpekerti merantau
di mana bumi dipijak,
di sana langit dijunjung
di mana air disauk
di sana ranting dipatah
di mana tubuh berlabuh,
di sana budpekerti dipatuh
apalah budpekerti orang menumpang:
berkata jangan sebarang-barang
berbuat jangan main belakang
adat istiadat forum dituang
dalam bergaul tenggang menenggang

Selain itu, sang Ayah juga mengajari Kumbang Banaung cara berburu. Setiap hari ia mengajaknya ke hutan untuk berburu hewan dengan memakai sumpit. Seiring berjalannya waktu, Kumbang Banaung pun tumbuh menjadi cowok yang tampan dan rupawan.

Namun, harapan kedua orangtuanya biar ia menjadi anak yang berbakti tidak terwujud. Perilaku Kumbang Banaung semakin hari semakin buruk. Semua petuah dan nasehat sang Ayah tidak pernah ia hiraukan. Pada suatu hari, sang Ayah sedang sakit keras.

Kumbang Banaung memaksa ayahnya untuk menemaninya pergi berburu ke hutan.
“Maafkan Ayah, Anakku! Ayah tidak sanggup menemanimu. Bukankah kau tahu sendiri jikalau Ayah kini sedang sakit,” kata sang Ayah dengan bunyi pelan. 
“Benar, Anakku! Kalau pergi berburu, berangkatlah sendiri. Biar Ibu menyiapkan segala keperluanmu,” sahut sang Ibu.
“O iya, Anakku! Ini ada senjata pusaka untukmu.

Namanya piring malawan. Piring pusaka ini sanggup dipakai untuk keperluan apa saja,” kata sang Ayah sambil memperlihatkan sebuah piring kecil kepada Kumbang Banaung.

Kumbang Banaung pun mengambil piring pusaka itu dan menyelipkan di pinggangnya. Setelah menyiapkan segala keperluannya, berangkatlah ia ke hutan seorang diri. Sesampainya di hutan, ia pun memulai perburuannya. Namun, hingga hari menjelang siang, ia belum juga mendapatkan seekor pun hewan buruan. Ia tidak ingin pulang ke rumah tanpa membawa hasil.

Akhirnya, ia pun tetapkan untuk melanjutkan perburuannya dengan menyusuri hutan tersebut. Tanpa disadarinya, ia telah berjalan jauh masuk ke dalam hutan dan tersesat di dalamnya.

Ketika mencari jalan keluar dari hutan, ternyata Kumbang Banaung hingga di sebuah desa berjulukan Sanggu. Desa itu tampak sangat ramai dan menarik perhatian Kumbang Banaung. Rupanya, di desa tersebut sedang diadakan upacara budpekerti yang diselenggarakan oleh Kepala Desa untuk mengantarkan masa pingitan anak gadisnya yang berjulukan Intan menuju masa dewasa. Upacara budpekerti itu diramaikan oleh pagelaran tari. Saat ia sedang asyik menyaksikan para gadis menari, tiba-tiba matanya tertuju kepada wajah seorang gadis yang duduk di atas dingklik di atas panggung. Gadis itu tidak lain ialah Intan, putri Kepala Desa Sanggu. Mata Kumbang Banaung tidak berkedip sedikit pun melihat kecantikan wajah si Intan.
“Wow, anggun sekali gadis itu,” kata Kumbang Banaung dalam hati penuh takjub.

Tidak terasa, hari sudah hampir sore, Kumbang Banaung pulang. Ia berusaha mengingat-ingat jalan yang telah dilaluinya menuju ke rumahnya. Setelah berjalan menyusuri jalan di hutan itu, sampailah ia di rumah.
“Kamu dari mana, Anakku? Kenapa gres pulang?” tanya Ibunya yang cemas menunggu kedatangannya.

Kumbang Banaung pun bercerita bahwa ia sedang tersesat di tengah hutan. Namun, ia tidak menceritakan kepada orangtuanya ihwal kedatangannya ke Desa Sanggu dan bertemu dengan gadis-gadis cantik. Pada malam harinya, Kumbang Banaung tidak sanggup memejamkan matanya, alasannya ialah teringat terus pada wajah Intan.

Keesokan harinya, Kumbang Banaung berpamitan kepada kedua orangtuanya ingin berburu ke hutan. Namun, secara diam-diam, ia kembali lagi ke Desa Sanggu ingin menemui si Intan. Setelah berkenalan dan mengetahui bahwa Intan ialah gadis anggun yang ramah dan sopan, maka ia pun jatuh hati kepadanya. Begitu pula si Intan, ia pun tertarik dan suka kepada Kumbang Banaung. Namun, keduanya masih menyimpan perasaan itu di dalam hati masing- masing.

Sejak ketika itu, Kumbang Banaung sering pergi ke Desa Sanggu untuk menemui Intan. Namun tanpa disadari, gerak-geriknya diawasi dan menjadi pembicaraan penduduk setempat. Menurut mereka, sikap Kumbang Banaung dan Intan telah melanggar budpekerti di desa itu. Sebagai anak Kepala Desa, Intan seharusnya memberi teladan yang baik kepada gadis-gadis sebayanya. Oleh alasannya ialah tidak ingin putrinya menjadi materi omongan masyarakat, ayah Intan pun menjodohkan Intan dengan seorang juragan rotan di desa itu.

Pada suatu hari, Kumbang Banaung mengungkapkan perasaannya kepada Intan.
“Intan, maukah Engkau menjadi kekasih, Abang?” tanya Kumbang Banaung.

Mendengar pertanyaan itu, Intan terdiam. Hatinya sedang diselimuti oleh perasaan bimbang. Di satu sisi, ia suka kepada Kumbang Banaung, tapi di sisi lain ia telah dijodohkan oleh ayahnya dengan juragan rotan. Ia sebetulnya tidak mendapatkan perjodohan itu, alasannya ialah juragan rotan itu telah mempunyai tiga orang anak.

Namun, alasannya ialah tabiat ayahnya sangat keras, maka ia pun terpaksa menerimanya.
“Ma... maafkan Aku, Bang!” jawab Intan gugup.
“Ada apa Intan? Katakanlah!” desak Kumbang Banaung.

Setelah beberapa kali didesak oleh Kumbang Banaung, balasannya Intan pun menceritakan keadaan yang sebenarnya. Intan juga mengakui bahwa ia juga suka kepadanya, namun takut dimarahi oleh ayahnya.

Mengetahui keadaan Intan tersebut, Kumbang Banaung pun segera pulang ke rumahnya untuk memberikan niatnya kepada kedua orangtuanya biar segera melamar Intan.
“Kita ini orang miskin, Anakku! Tidak pantas melamar anak orang kaya,” ujar sang Ayah.
“Benar kata ayahmu, Nak! Lagi pula, mustahil orangtua Intan akan mendapatkan lamaran kita,” sahut ibunya.
“Tidak, Ibu! Aku dan Intan saling mencintai. Dia harus menjadi istriku,” tukas Kumbang Banaung.
“Jangan, Anakku! Urungkanlah niatmu itu! Nanti kau sanggup malapetaka. Mulai kini kau dilarang menemui Intan lagi!” perintah ayahnya.

Kumbang Banaung tetap tidak menghiraukan nasehat kedua orangtuanya. Ia tetap bersikeras ingin menikahi Intan bagaimana pun caranya. Pada suatu malam, suasana terperinci bulan, belakang layar ia pergi ke Desa Sanggu untuk menemui Intan. Ia berniat mengajaknya kawin lari.
“Intan, bagaimana jikalau kita kawin lari saja,” bujuk Kumbang Banaung.
“Iya Bang, saya setuju! Aku tidak mau menikah dengan orang yang sudah mempunyai anak,” kata Intan.

Setelah melihat keadaan di sekelilingnya aman, keduanya berjalan mengendap-endap ingin meninggalkan desa itu. Namun gres beberapa langkah berjalan, tiba-tiba beberapa orang warga yang sedang meronda melihat mereka.
“Hei, lihatlah! Bukankah itu Kumbang dan Intan,” kata salah seorang warga.
“Iya, Benar! Sepertinya si Kumbang akan membawa lari si Intan,” imbuh seorang warga lainnya.

Menyadari niatnya diketahui oleh warga, Kumbang dan Intan pun segera berlari ke arah sungai.
“Ayo, kita kejar mereka!” seru seorang warga.

Kumbang Banaung dan Intan pun semakin mempercepat langkahnya untuk menyelamatkan diri. Namun, ketika hingga di sungai, mereka tidak sanggup menyeberang.
“Bang, apa yang harus kita lakukan! Orang-orang desa niscaya akan menghukum kita,” kata Intan dengan nafas terengah-engah.

Dalam keadaan panik, Kumbang Banaung tiba-tiba teringat pada piring malawen santunan ayahnya. Ia pun segera mengambil piring pusaka itu dan melemparkannya ke tepi sungai. Secara ajaib, piring itu tiba-tiba berubah menjadi besar. Mereka pun menaiki piring itu untuk menyebrangi sungai. Mereka tertawa besar hati alasannya ialah merasa selamat dari kejaran warga. Namun, ketika hingga di tengah sungai, cuaca yang semula terang, tiba-tiba menjadi gelap gulita.

Beberapa ketika berselang, hujan deras pun turun disertai hujan deras dan angin kecang. Suara guntur bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar. Gelombang air sungai pun menghatam piring malawen yang mereka tumpangi hingga terbalik. Beberapa ketika kemudian, sungai itu pun berubah menjadi menjadi danau. Oleh masyarakat setempat, danau itu diberi nama Danau Malawen. 

Sementara Kumbang dan Intan berubah menjadi menjadi dua ekor buaya putih. Konon, sepasang buaya putih tersebut menjadi penghuni kekal Danau Malawen.

Demikian dongeng Asal Mula Danau Malawen dari tempat Kalimantan Tengah, Indonesia. Cerita di atas tergolong legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang sanggup dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari- hari. Salah satu pesan moral yang sanggup dipetik dari dongeng di atas ialah jawaban jelek dari sifat keras kepala dan tidak mau mendengar nasehat orangtua. 

Sifat ini tercermin pada sikap Kumbang Banaung dan Intan yang tidak mau mendengar dan menuruti nasehat kedua orangtua mereka. Akibatnya, Tuhan pun murka dan menghukum mereka menjadi dua ekor buaya putih. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat keras kepala dan tidak mau mendengar nasehat merupakan sifat tercela. Dikatakan dalam tunjuk latih Melayu:

kalau sifat keras kepala, di situlah tempat beroleh bala, jikalau bapa ibu engkau sanggah, Tuhan murka, orang pun menyunggah..

sumber fans page kumpulan dongeng rakyat Kalimantan Tengah


EmoticonEmoticon